Buku “Runtuhnya Kerajaan Hindu: Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara” ditulis oleh sejarawan Slamet Muljono. Ini kontroversial karena menyatakan bahwa Wali Songo adalah orang Tiongkok dan bukanlah orang Jawa.
Sejarah kedatangan Islam di Nusantara telah lama menjadi subjek perdebatan. Dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Azyumardi Azra (1994) mengatakan bahwa topik diskusi utama adalah tiga hal: tempat Islam pertama kali muncul di Nusantara, orang yang membawa atau mendakwah Islam, dan kapan Islam benar-benar masuk ke Nusantara.
Menurut buku Helmiati (2014) Sejarah Asia Tenggara, setidaknya ada enam teori yang membahas asal-muasal Islam yang berkembang di Nusantara. Sementara itu, hanya empat teori yang disebutkan dalam buku Nur Syam Islam Pesisir.
Tulisan ini tidak bertujuan untuk membandingkan ulasan Helmiati dan Nur Syam; itu juga tidak bertujuan untuk menunjukkan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Fokus tulisan ini adalah pada kedua karya sebagai sumber yang saling melengkapi. Selain itu, tujuan dari tulisan ini tidak adalah untuk menentukan teori mana yang sejauh ini memiliki hipotesa historis yang paling relevan.
Empat Ide Utama
Ya, Helmiati dan Syam memberikan beberapa teori tentang asal-usul Islam di Nusantara, seperti:
Pertama, teori Gujarat. Beberapa sarjana Belanda, seperti J Pijnappel, Snouck Hurgronje, WF Stutterheim, dan JP Moquette, membangun teori ini. Menurut teori ini, orang-orang Arab bukan dari Persia atau Arabia yang bermigrasi ke India Selatan dan kemudian membawa Islam ke Nusantara.
Berbeda dengan Helmiati, Syam menyebutkan nama penting GWJ Drewes—yang pertama kali menyatakan bahwa Islam berasal dari anak benua India. Hurgronje memperluas teori ini.
Persamaan mazhab dan artefak adalah dasar teori Gujarat. Teori ini menyatakan bahwa umat Islam di Nusantara dan Gujarat memiliki mazhab yang sama. Kedua komunitas Muslim ini awalnya menganut mazhab Syafi’i. Hurgronje menyatakan bahwa tahun 1200 adalah masa paling awal yang mungkin bagi penduduk Nusantara untuk menjadi Islam.
Selain itu, penemuan artefak nisan di Gresik dan Pasai, Semenanjung Malaya, yang memiliki bentuk dan model yang mirip dengan yang ditemukan di Cambay, Gujarat, menguatkan teori ini.
JP Moquette adalah orang yang mendalilkan “teori nisan”, yang didasarkan pada temuan artefak atau sohor. Menurutnya, batu nisan Gujarat dibuat untuk dijual ke Sumatra dan Jawa selain memenuhi permintaan lokal.
Kedua, teori Bengal. Teori ini bertentangan dengan teori Gujarat dan didasarkan pada asumsi pembacaan artefak atau nisan.
SQ Fatimi mengusulkan teori ini. Dia mengklaim bahwa bentuk dan model nisan Raja Pasai Malik al-Shalih di Aceh, serta nisan yang ditemukan di makam Fatimah binti Maimun di Laren, Jawa Timur, sangat berbeda dari nisan yang ditemukan di Gujarat. Bentuk dan model nisan ini tidak sama dengan nisan yang ditemukan di daerah Bengal.
Di sini, tulisan SQ Fatimi berjudul “Islam Comes to Malaysia” secara tidak langsung membantah gagasan bahwa Islam disebarkan oleh pedagang atau karena perdagangan. Dia percaya bahwa upaya kaum ulama yang misterius membawa Islam ke wilayah ini.
Namun, teori Bengal juga memiliki kelemahan. Ini karena wilayah Bengal menganut mazhab Hanafi, sedangkan Nusantara menganut mazhab Shafi’i.
Setelah teori Fatimi diterima, teori Moquette tidak sepenuhnya dihapus. Beberapa akademisi kemudian mengambilnya dan menggunakan buktinya sebagai dasar teori mereka tentang asal-usul Islam di Nusantara. Teori Gujarat juga didukung oleh beberapa akademisi, termasuk RA Kern, RO Winstead, Schrieke, Brian Harrison, GH Bousquet, BHM Viekke, J Gonda, HE Wilson, dan DGE Hall.
Ketiga, hipotesis Malabar dan Coromandel Thomas W. Arnold adalah sejarawan pertama yang mengemukakan teori ini. GE Morrison kemudian mendukung teori bahwa wilayah ini pada saat itu memiliki mazhab yang sama dengan wilayah Nusantara.
Marrison mengatakan bahwa karena Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu ketika Pasai diislamkan pada tahun 1292, tidak mungkin bahwa penyebaran Islam berasal dari sana. Laporan Tome Pires, Suma Oriental, adalah dasar dari argumen Morrison sendiri. Marrison mengemukakan gagasan bahwa pada akhir abad ketiga belas, Islam masuk ke Nusantara melalui Pantai Coromandel di India Selatan.
Thomas W. Arnold kemudian mendukung teori Morison. Arnold menunjukkan bahwa ada bukti tentang aliran mazhab Coromandel dan Malabar yang sama di Nusantara, dan dia juga mengatakan bahwa pedagang dari Coromandel dan Malabar memainkan peran penting dalam perdagangan di India dan Nusantara. Pada akhirnya, para pedagang ini juga memainkan peran penting dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara.
Keempat, teori Arab. Menurut teori ini, Islam yang datang ke Nusantara berasal dari sumber aslinya, Arab. Pendapat Helmiati dan Syam berdasarkan pendapat Naguib al-Attas.
Arnold menyatakan bahwa Coromandel dan Malabar bukan satu-satunya tempat Islam awal; dia juga mengusulkan bahwa para pedagang Arab juga menyebarkan Islam di Nusantara. Dia mengatakan bahwa pedagang Arab mendominasi jalur perdagangan dari Barat ke Timur sejak awal abad ke-7 dan ke-8.
Sumber-sumber berita Tiongkok adalah sumber dari argumen Arnold ini. Menurut berita Tiongkok, menjelang akhir abad ke-7, seorang pedagang Arab memimpin pemukiman Arab-Muslim di pesisir pantai Barat Sumatra. Beberapa pedagang Arab ini dilaporkan menikah dengan penduduk lokal, membentuk komunitas muslim yang terdiri dari campuran pendatang Arab dan penduduk lokal.
Meskipun Attas mengatakan bahwa kata kunci penting untuk melihat asal usul kedatangan Islam di Asia Tenggara, yang harus dipertimbangkan adalah melihat literatur Islam Melayu-Indonesia dari abad ke-16 dan ke-17. Sayangnya, Syam tidak menjelaskan lebih jauh tentang bagaimana Attas membangun analisis dan memberikan komentar terkait teks atau literatur Islam Melayu-Indonesia itu hingga dia pada akhirnya sampai pada kesimpulan hipotetis tersebut.
Namun demikian, kesimpulan Attas ini sejalan dengan hasil seminar Sejarah Masuknya Islam di Indonesia yang diadakan di Aceh. Seminar tersebut menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui Aceh sebagai daerah pertama yang memeluk Islam pada abad pertama hijrah.
Nama Buya Hamka juga disebut dalam sumber lain. Helmiati dan Syam sama sekali tidak menyebutkan tokoh ini. Sejak abad ke-7, Hamka telah menyatakan bahwa Islam berasal dari Mekah (Arab), sumber pertama Islam. Dia kemudian menempatkan peran bangsa Arab di atas orang Persia dan Gujarat sebagai penyebar Islam di Nusantara. Mekah disebut sebagai pusat Islam, atau Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran Islam, dan Gujarat disebut sebagai tempat singgah semata-mata. Teori Hamka berasal dari sumber Tiongkok.
Tiga Teori Tambahan
Kelima, konsep Iran. Hilmiati kembali merujuk pada Thomas W. Arnold, seorang sejarawan yang tidak menampik kemungkinan kelima bahwa Islam di Nusantara berasal dari Persia. Arnold juga menyatakan bahwa teori mazhab mendukung kemungkinan kelima ini. Di Sumatra dan Jawa, ditemukan mazhab keagamaan yang mirip dengan Syiah.
Sayangnya, Helmiati tidak menunjukkan penelitian Hoessein Djajadiningrat—orang Indonesia yang menjadi doktor pertama yang lulus dari Universitas Leiden di Belanda dan juga seorang murid Snouck Hurgronje—entah mengapa.
Dengan demikian, simpulan Arnold dan Djajadiningrat tidak jauh berbeda. Teori Persia mengatakan bahwa orang Persia membawa Islam ke Nusantara. Ada banyak persamaan budaya antara Islam di Nusantara dan Persia, yang menjadi dasar dari argumen ini. Salah satu contohnya adalah peringatan hari Asyura pada tanggal 10 Muharram, ketika cucu Nabi Muhammad, Hasan dan Husen, meninggal dunia.
Selain itu, Djajadiningrat menyatakan bahwa gaya kaligrafi pahat yang digunakan pada batu nisan yang digunakan pada makam orang Islam awal di Nusantara memiliki kemiripan dengan gaya kaligrafi yang ditemukan di Persia. Pada abad ke-13, orang juga memperkirakan musim datangnya Islam ke Nusantara ini.
Akhir sekali, teori Mesir. Kaijzer menciptakan teori ini. Selain itu, Niemann dan de Hollander menguatkan teori Arab-Mesir bahwa ada persamaan mazhab Syafi’i yang dianut oleh penduduk Islam di Nusantara dan Mesir. Namun, keduanya menyebut Hadramaut sebagai sumber Islam Nusantara daripada Mesir.
Di sini penting untuk membuat catatan khusus. Sayangnya, baik Helmiati maupun Nur Syam tidak menyinggung teori Tiongkok sama sekali. Slamet Muljana pertama kali mengemukakan teori ini dalam disertasinya yang berjudul “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara.”
Ini sangat kontroversial. Muljana percaya bahwa Islam di Nusantara berasal dari Tiongkok, seiring dengan migrasi orang Tiongkok ke Asia Tenggara. Selain itu, Muljana menafsirkan keberadaan sembilan orang penyebar agama Islam di Pulau Jawa—juga dikenal dengan nama Wali Songo—sebagai orang Tiongkok, bukan orang Jawa. Sepertinya peristiwa syiar keagamaan ini berlangsung sejak pertengahan abad ke-15. W-1